cerpen



                                MR.PPROFESSIONAL


            Dari jauh aku melihat Karundeng yang datang dari arah barat.Aku berdiri di depan pintu gerbang ‘gudang’ parkir menunggunya.Karundeng tampak bagaikan peluru menembus angin dengan langkahnya yang tergesa itu.Suhu udara musim dingin yang lima derajat di bawah nol,memaksa setiap orang untuk cepat cepat membebaskan diri dari sengatan yang menyiksa itu.Di depan pintu gerbang ‘gudang’ parkir itu,aku sendiri harus terus melompat di tempat sambil menggosokkan kedua tangan untuk mengusir hawa dingin celaka itu.’Pakaian tempur’ yang melekat di tubuhku terpaksa mengangkat bendera putih kalau suhu anjlok ke bawah nol.
            “Morning,”teriaknya sambil menghampiriku.
            ”Morning.”
            Tanpa komando kami berjalan beriringan.
            “Dapat di mana?”
            “Di dekat Skyline inn.”
            “Begitu jauh?”
            “Lagi sial.”
            Karundeng tampaknya mendongkol karena mendapat tempat parkir sejauh itu.Bayangkan saja,jaraknya satu kilometer dari kantor kami.
            “Masih belum mau menggunakan ‘kandang’ itu?”
            Karundeng tersenyum sambil mengangkat bahu.
            “Iam professional,Man.”
            Jawaban klise itu kembali menggoncang anak telinga ku.Kali ini kau tersenyum.Dua puluh tahun lamanya Karundeng berbuat seperti itu, memindah mindahkan mobil dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mendapatkan sebidang tanah tempat parkir gratis.
            Jalan jalan di sekitar kantor kami kini dipagari oleh meteran parkir yang terus menerus dahaga menunggu siapa saja.
            Untuk setiap jam,setiap orang yang memarkir mobil nya di pinggir jalan itu,harus membayar lima puluh sen.Bayangkan saja, kalau setiap hari seseorang harus menggunakan aspal yang ditunggui meteran itu selama delapan jam,”kan berarti ia harus mengewluarkan empat dolar.Berapa harus dikeluarkannnya sebulan,kalau dalam satu bulan orang bekerja dua puluh dua hari.Mengeluarkan uang delapan puluh dolar untuk parkir itulah yang membuat Karundeng merasa berat.Apalagi masih ada peraturan yang rasanya tidak masuk akal.Orang hanya boleh menggunakan satu meteran parkir tidak lebih dari dua jam.Polisi sangat ringan tanganmenendang orang yang memarkir mobil di satu tempat lebih lama dari pada waktu yang ditetapkan itu.Kalau jalan yang menggunakan meteran parkir itu yang diandalkan oleh orang orang yang bekerja di kantor kami,berarti setiap hari mereka harus memindahkan mobil tiga kali.Betapa terasa menggangu.
            Karena alasan itulah aku memilih ‘gudang’ parkir yang walaupun jaraknya agak jauh sedikit,sewa bulannya lebih murah.Aku hanya mengempiskan uang sakuku dengan enam puluh tujuh dolar dolar setiap bulan.Masih lebih murah dua puluh satu dollar dibandingkan dengan biaya parkir di pinggir jalan yang menggunakan meteran parkir.Walaupun tempatku menitipkan mobil setiap hari itu bertingkat tiga,lengkap dengan fasilitas parkir yang diperlukan,aku lebih suka menyebutnya ‘gudang’ karena dari luar bentuknya kelihatan seperti gudang di pelabuhan.
            Karundeng lebih suka memeluk prinsip ekonomi ‘hemat’ dalam sola parkir memarkir ini.Dalam kondisi bagaimanapun ia harus mendapat tempat parkir gratis.Prinsip ekonomi yang dikawininya selama dua puluh tahun itu telah menerebos ke sumsum tulangnya.Mencari cari tempat parkir gratis,yang terkadang lokasinya jauh sekali dari kantor kami,telah memberikan kenikmatan tersendiri baginya.Perburuhan seperti itu dirasanya sebagai perjuangan gigih untuk merebut kemenangan.Apalagi kalau kemenangan itu direbutnya di Mall,satu satunya tempat yang tidak jauh dari kantor kami,yang menjadikan dirinya sebagai arena perjuangan itu.
            Mall adalah sebuah lapangan luas yang membentang dari mulut Gedung Capitol hingga ke gerbang Lincoln Memorial.Gedung gedung lembaga Smithsonian yang terkenal itu memagari sebuah kedua sisi lapangan Mall yang luas.Nah,jalan jlan di kedua sisi itu itulah yang masih bisa diperebutkan oleh calon calon pemarkir mobil,termasuk sahabatku Karundeng.Sejauh yang kuketahui, Karundeng tidak pernah berhasil memenagkan pertarungan di Mall pada pagi hari.Ia terpaksa memindahkan medan perjuangan ke tempat yang lebih jauh, termasuk ke jalan di depan Skyline inn,tempat ia memarkir mobilnya pagi itu.Celakanya,di jalan jalan tanpa meteran parkir pun orang hanya dibenarkan memarkir mobil hanya untuk dua jam.Berarti dari Skyline Karundeng harus mencari medan lain setelah dua jam berlalu.
            Mall biasanya menjadi sasaran kedua setiap hari.Begitu ia berada di sekitar lapangan luas ity,Karundeng pun harus memasang mata kucing.Sambil menjalankan mobilnya pelan pelan,ia siap menerkam ruang kosong kalau ada orang yang meninggalkan ruang itu untuk mencari ruang parkir lain.Ruang yang akan direbut Karundeng adalah ruang yang akan dilepas orang lain.yang setelah melepas ruang itu juga akan bersikap  seperti Karundeng,memasang mata kucing dan siap menerkam ruang baru.Dua dasawarsa sudah Karundeng main kucing kucingan seperti itu.Rutinitas seperti itu ternyata tidak menenggelamkan kenikmatan yang dipetiknya setiap hari.Peraturan kantor yang sangat ketat dengan waktu dapat diterobosnya dengan aman.Aman,karena Karundeng tidak seorang diri.Beberapa teman lain,diam diam berbaris di belakangnya dan membentuk barisan komando yang tidak kalah gigihnya.
            Masa juang anggota pasukan komando di belakang Karundeng itu berbeda beda.Ada yang baru dua tahun.Ada yang lima tahun dan ada yang sepuluh tahun.Jelas masa juang karundeng yang paling lama dan ialah yang dianggap paling senior.Wajar kalau Karundeng menganggap professionalisnyalah yang paling tinggi.
            “Regar masih terus berjuang di ‘gudang’ ityu ?” tanyanya.\
            “Ya”
            “Tidak pernah merasa berat?”
            “Eh,mestinya ‘kan aku yang bertanya kepadamu begitu?”
            Karundeng tertawa.Di luar sadarku aku terpaksa berlari lari kecil mengikuti langkahnya yang seperti peluru itu.Gedung kantor kami hanya tinggal beberapa meter lagi.
            “Regar,disini tidak boleh berlagak seperti orang kaya.’’
            “Tapi,gajimu Deng,gajimu empat kali gajiku.Harga mobilmu lima kali harga mobilku.”Kan aneh kalau aku yang mengandangkan mobil,sedang kau tidak.”
            Keh,  keh,  keh,  ia tertawa berderai,sambil menjangkau pena untuk menulis nama dan membubuhkan tanda tangan di buku ‘signin’yang tergeletak didepan petugas pengawal gedung.Mula mula bekerja di kota ini,aku pernah mencoba untuk ‘magang’ menyerobot lahan gratis untuk mobilku.Daya tahanku kiranya tidak lebih dari dua hari.Sejak itulah pelataran parkir bertingkat tiga itu menjadi langgananku.Maaf saja,aku tidak mau dijajah mobil bututku.Si butut itu kubeli justru untuk melayaniku dan mempercepat perjalanan pulang pergi ke kantor,jadi bukan untuk menjajahku.
            Aku lebih suka enam puluh tujuh dolar meluncur dari uang sakuku,agar si butut tetap dapat melayaniku.Jadi bukan aku yang harus melayani si butut dengan memindah mindahkannyua setiap dua jam sekali.Kalau sekiranya ‘perjuangan’ Karundeng itu merupakan satu satunya pilihan aku lebih baik tidak membeli mobil.Menyeberangi jarak rumah akan tetap efisien kalau ditempuh dengan menumpang bus atau naik kereta api bawah tanah.Pelataran parkir Hubert Humphrey Building yang di perluas menghembuskan angin segar, termasuk mengelus Karundeng.Sebagai pegawai yang paling senior dan paling tinggi pangkatnya di bagian kami,ia mendapat jatah tempat parkir khusus.Gratis.
            Gedung berlantai delapan itu persis terletak di sebelah kantor kami.Mulanya tempat parkir gedung itu hanya terdapat di Basement,lantai bawah tanah,yang dihubungkan dengan terowongan dengan kantor kami.
Pelataran parkir baru dibangun di tanah lapang yang selama ini berfungsi sebagai teman di depan Humphrey Building.Jatah untuk Karundeng kebetulan diberikan di tempat parkir lama yang terletak di lantai bawah tanah.Karundeng sebenarnya beruntung karena setelah memarkir mobil,tanpa gangguan apa pun ia dengan santai dapat melangkah di terowongan yang menuju kantor kami.
            Dengan begitu pada musim dingin yang menyebar udara yang menusuk tulang,atau ketika badai salju mengamuk menerjang siapa saja,atau ketika hujan mencurahkan tak kenal ampun,Karundeng dapat mengayun langkah ke kantor kami sambil bersiul tanpa harus bertarung dulu menghadapi gangguan yang di sebutkan itu.
            “Karundeng,kau beruntung,’’kataku.
            Sahabat yang rambutnya memutih bagai tumpukan salju itu hanya tertawa.
            “Kita lihat saja,”sahutnya tanpa kegembiraan apa apa.
            Karundeng yang beruntung tidak perlu lagi bertarung bagai tikus merebut mangsanya hanya  untuk memperebutkan tempat parkir. Ia kini  datang ke kantor dengan kepastian menyenangkan.Namun,ia kelihatan biasa biasa saja, seakan akan tidak ada sesuatu yang mengantarkan keberuntungan kepadanya.
            “Karundeng,sekali kali kita berbagi pengalaman,bagaimana?’’
            Ia menatapku tidak mengerti.
            “Maksudmu?”
            “Kalau kau cuti, tempat parkir itu berikan saja kepadaku.”
            “Kau sungguh sungguh?”
            “Ya .Kalau perlu aku bayar juga boleh.Asal pakai discount saja.”
            Di luar dugaan ku ia datang menghampiriku.
            “Regar,jangan kau kira aku senang.Tidak.Aku tidak senang Kalau kau mau,aku bisa menyerahkan tempat itu kepadamu.Toh,kartu yang kupegang itu tidak memakai nama dan foto.Artinya,siapa saja boleh menggunakan tempat parkir itu kalau kau mau.”
            “Deng,aku Cuma memintanya kalau kau cuti.Tidak untuk waktu yang lain.”
\           “Regar,kau boleh memakainya mulai besok.”
            “Cutimu mulai besok?”
            “Tidak.Mulai besok aku ingin menyerahkan tempat itu kepadamu.Dengan begitu paling tidak kau bisa menghemat enam puluh tujuh dollar setiap bulan.Itu ‘kan tidak sakit?”
            Begitu selesai mengucapkan kata kata itu,ia kembali ke mejanya dan membuka laci meja itu.Dengan memegang selembar kartu ia datang menghampiriku.
            ‘’Aku tidak minta apa apa untuk kartu yang kuberikan ini.”
            “Deng,kalau gila.Aku ‘kan cuma main main.”
            “Regar,ambillah.Aku memang ingin meyerahkan kartu ini kepadamu.Paling tidak sejak dua minggu lalu perasaan itu menggangguku.’’
            “Kan kau baru sebulan menggunakannya?”
            “Ya,satu bulan.”
            Sebuah senyum bergantung di wajahnya ketika ia menatapku.Lalu kata kata itu meluncur laju. “You will never understand,how difficult it is for me”.
            “Karundeng!”
            Ia memberi isayarat agar aku tidak bertanya lagi.”Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat.Suatu bangsa bisa bangkit dalam waktu sepanjang itu.Dua puluh tahun aku telah menyatu dengan kebiasaanku setiap hari.Tiba tiba aku harus mengubah kebiasaan itu secara drastis.Aku memang berusaha,Regar.Lama lama mungkin juga bisa,tapi aku tidak tahan.Baru dua minggu aku memarkir mobilku disana,perasaan menderita mulai menggangguku.Ketika itulah aku mengambil keputusan akan menyerahkan tempat itu kepada siapa saja yang mau menerimanya.Belakangan setelah melakukan pilihan yang ketat di antara semua teman teman kita, aku memutuskan kaulah yang paling tepat.Lalu,tadi kau,mungkin sekedar bercanda,meminta tempat itu ketika kau cuti.Kebetulan,kebetulan,Regar.”
            “Karundeng.”
            Isyarat agar aku menutup mulut kembali mencegahku.Ia menyerahkan kartu itu ketanganku.
            “I am professional,remember?”
            Karundeng berlalu sambil tertawa.
            Keesokan paginya Karundeng kembali masuk ke irama hidupnya yang lama.Bertarung memperebutkan  sepotong tanah untuk memarkir mobil.Ia merasa dicakar oleh kenikmatan karena dapat berbuat seperti itu.Paling tidak,begitulah menurut pengakuannya.Sebagai sahabat,aku tentu tidak ingin merampas cakaran itu dengan mengembalikan kartu yang diberikannya.
            Namun,aku menyimpan sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan pula.Suatu ketika nanti,Karundeng akan mengubah pikirannya dan akan membutuhkan kartu ini kembali.Kapan perubahan itu akan terjadi, bukan urusanku.
            Kartu yang kuberikan Karundeng kusimpan di laci mejaku dan mobil bututku tetap kusimpan di ‘gudang’ ku yang lama.Beban berat ini bertengger di pundakku.Bagaimana agar rahasia ini tidak terbongkar dan Karundeng tetap merasakan kenikmatan cakaran yang diinginkannya itu.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL PEMBAHASAN OSN BIOLOGI SMA INTERNASIONAL TAHUN 2018/2019

Tips dan strategi penyerangan Townhall level 8(TH 8)

soal dan pembahasan biologi tentang sistem pernapasan dan sistem eksresi